Awal tahun baru identik dengan slogan, “New Year, New You”, tapi apakah yang terjadi jika kita mencoba untuk lebih mencintai diri kita sendiri namun post-traumatic selalu terngiang di kepala kita, Kleive? Aku ingin mengajak Kleive berdiskusi mengenai self-love after sexual assaults. Why? Because not every women or men still have the independence to tell their story when it comes to sexual assaults incidents. Some see it too embarrassing to share or even acknowledge the fact that they are hurt especially in Indonesia, where sex education is still a taboo to be shared at an early age. Generally speaking, little did we know traumatizing events like this can hinder a person’s personal development and social skills from relationships to career and other life aspects. Yup, this article will get uncomfortable.

We are going to share a story about how someone learns to gain their confidence back after a series of sexual assaults. Let us know what you think, Kleive. We love you and whoever experienced something alike, please know that you are not alone. Seek professionals, a family member, a friend, or even us for emotional support. Remember, Kleive, we are never alone.

DISCLAIMER: This is the true story and I retell the story from Kleive.
Editor by Divanda Gitadesiani

At a young age, I was sexually assaulted by strangers. It happened four times, four strangers, four different life stages of mine- when I was on the junior high school, high school, university, and also at my work state. At the early stage, someone else’s sexual assault shaped me to be who I was back then. All I know, I grew up hating myself.

Saat aku duduk di bangku kelas 5 SD, temanku, Cantika, telah di asusila dan dikepung oleh 8 orang asing yang terlihat masih berumur belasan tahun saat kami sedang bermain di taman, dan sedihnya aku hanya menyaksikannya saja tanpa berbuat apapun untuk membantunya. Temanku berteriak kepadaku, menyuruhku untuk berlari sejauh mungkin dari taman. Ia berkata bahwa ia yang akan menghadapi mereka. Aku merasa sangat panik dan menuruti apa katanya. Dari kejauhan, aku melihat temanku diraba dada dan kemaluannya, satu per satu oleh gerombolan laki-laki itu. Tawa mereka masih bisa kudengar dan selalu terngiang hingga sekarang. Kepanikan aku waktu itu berbuah rasa penyesalan yang sangat dalam, karena aku begitu pengecut untuk meninggalkan temanku sendirian, sedangkan aku hanya menangis dan berlari sejauh mungkin. Jika saja waktu itu aku lebih berani untuk mengatakan tidak dan menarik lengan temanku untuk berlari bersama, mungkin kejadiannya akan berbeda. Rasa penyesalan itu aku tutup rapat dan menyalahkan sistem pendidikan di Indonesia dengan alasan bahwa aku hanya seorang perempuan lemah yang masih duduk di bangku 5 SD, sekolah di Indonesia tidak terlalu informatif mengenai sex education dan saat itu aku tidak tahu tentang apa-apa. Bahkan sampai detik ini pun, aku tidak menceritakan kejadiannya pada orang tuaku, aku masih merasa malu dan bersalah akan akibat itu dan tidak berfikir bahwa kecelakaan itu sering terjadi di belahan bumi manapaun. Aku hanya tahu, bahwa aku akan disalahkan hanya karena aku seorang perempuan. Pelecehan seksual selalu dititik beratkan di perempuan, bukan laki-laki. Tapi, setiap aku berfikir akan masalah itu, mengapa mereka tidak mengejarku? Apakah aku tidak secantik temanku itu, si Cantika?

Dari dulu, Cantika sering ditaksir oleh banyak lelaki di kelasku bahkan oleh kakak kelasku. Cinta monyet tentunya, kami masih sangat muda. Ia cantik, namanya saja, Cantika. Sedangkan aku suka diolok “Kebo Ireng”, bahasa jawa yang artinya “Kerbau Hitam” karena, selain warna kulitku yang gelap (aku mengikuti ekstrakurikuler basket dan badminton, jadi wajar aku selalu dibawah naungan sengatnya terik matahari), aku juga berbobot lebih besar dibandingkan dengan yang lain.

Kesimpulan naif saat aku kecil, bahwa aku harus terus “menjelekkan diri” agar tidak diganggu oleh para kaum lelaki. Aku pun tumbuh menjadi tomboy, tidak terlalu peduli dengan penampilanku, berlaku kasar kepada lelaki.

Beranjak dewasa, aku berusaha untuk terlihat cantik. Aku duduk di bangku SMP dan aku mulai punya ketertarikan dengan lawan jenis yang memotivasi aku untuk terlihat lebih cantik agar disukai. Masa SMP-ku sungguh menyenangkan, kecuali di acara setelah kelulusan dimana aku  merayakan kelulusan aku di sebuah restoran, seorang pelayan dari restoran, meraba paha dalam menuju kemaluanku saat aku tengah turun melewati tangga. Akupun merasa marah dan menepis tangan laki-laki itu dengan kencang, tapi yang kudapat bukanlah kata maaf melainkan tatapan meringis puas. Aku sangat kecewa, karena flashback momen dimana aku bersama Cantika muncul kembali. Apakah ini karma karena aku meninggalkan Cantika waktu itu? Ah tidak, bukan! Itu bukan salahku, Cantika menyuruhku lari. Sedangkan kejadian ini, aku hanya sendiri dan tidak ada yang melihatnya sebagai saksi. Akupun lari ke mobil dan menangis kencang, aku sangat malu dan tidak mengerti akan perbuatan manusia yang tidak beradab ini. Akupun langsung teringat akan kesimpulan naif-ku, “You need to be ugly, so no guy can sexually attack you.”

Semenjak itu, aku kesusahaan untuk menjaga hubungan pertemananku. Teman laki-laki yang aku taksir? Aku menghiraukannya, walau ia sudah memberikan sinyal tertarik denganku juga. Aku menarik diriku dari dunia luar dan lebih menyukai untuk mengurung diri di kamar untuk baca buku ataupun mengemil. I gained weight, did not pay a lot of attention to my physical appearance, I was always rude to men because, in the back of my head, I generalized that they were all predators.

Waktu pun terus berjalan dan aku sudah hampir lulus di bangku SMA dimana rasa percaya diriku tumbuh kembali. Aku mempunyai teman yang mendukungku (mereka tidak tahu dengan traumaku, tapi lingkunganku keseketika menjadi terasa aman). Tapi rasa amanku tidak berlangsung lama, sebelum kelulusan, aku kembali diserang lagi, di depan rumahku sendiri oleh seorang pria yang mencoba meremas payudaraku. Badanku terdorong ke gerbang rumah, kemudian dia lari dengan sepeda motornya, mengambil sesuatu dariku yang tidak berwujud, harga diriku, sebagai perempuan seutuhnya. Bahkan sampai sekarang, aku memiliki masalah dengan sepeda motor yang lewat. Aku selalu merasa jantungku berdebar-debar dan bersiap jika ada tiba-tiba diserang oleh manusia tidak beradab itu.

Mencoba untuk mencintai diriku apa adanya dan memaafkan masa laluku tidaklah mudah. Aku sudah berumur 23 tahun, tapi kutukan itu pun tidak lepas juga dari diriku. Pattern yang sama selalu hadir di diri aku.

  1. I always try to gain back my confidence, have a better relationship with people, fall in love
  2. Later, after my confidence was fully back, a stranger sexually assaulted me
  3. I turn to food, I shut everyone away, and I did not make an effort to take care of my looks

Karena kejadian yang sama terus berulang kali, aku jadi merasa dunia itu benar-benar jahat padaku, dan pada akhirnya aku mengalami depresi. Aku selalu mempunyai masalah dengan teman-teman terutama yang lawan jenis, aku merasa mereka semua bisa sewaktu-waktu akan melakukan pelecehan seksual terhadapku, perasaanku merasa tidak aman setiap dekat dengan lawan jenis. Setiap mempunyai pacar, aku putus dengan mereka ketika semuanya baik-baik saja, karena aku takut. Aku takut bahwa pacarku ternyata hanya memanfaatkanku yang mungkin suatu saat akan merebut harga diriku dengan paksa. Tapi, itu adalah imajinasi yang tercipta di kepalaku yang belum tentu terjadi. Aku menciptakan skenario hidupku berdasarkan trauma. Padahal, waktu terus berjalan, tidak ada waktunya untuk memikirkan masa lalu. Ketika mengalami depresi, pikiran waras itu hanya sia-sia belaka.

Keinginanku untuk berubah terus ada walaupun selalu gagal. Pada akhirnya aku mencari bantuan kepada professional, psikolog yang mungkin dapat membantuku sembuh dari trauma dan aku bisa mencintai diriku sendiri lagi (walau aku tidak ingat kapan terakhir kali aku benar-benar memaafkan masa lalu aku dan hidup maju kedepan?). Ternyata tidak secepat itu untuk menyembuhkan depresi, butuh waktu lama, terutama diriku yang tidak berani untuk berperang melawan masa laluku sendiri. Langkah pertama yang kulakukan adalah mengakui semua kejadian pelecehan seksual yang pernah aku alami. Ya, kejadianku bersama Cantika, cikal bakal dari traumaku ini. Kedua, aku mulai menceritakannya kepada keluarga dan kerabat terdekat yang aku percaya, yang tidak mungkin men-judge aku atas kejadian masa lampau tersebut. Kedua langkah ini aku lakukan dengan sangat lama dan sulit, tapi aku sadar itu sangat perlu dilakukan agar aku bisa terbebas dari jeratan masa laluku yang kelam. Tiada hari tanpa menangis, dan itu benar-benar menghabiskan energiku.

Selain menciptakan lingkungan yang penuh dengan dukungan, cara lain untuk menyembuhkan trauma yaitu dengan mengganti mindset pikiran kita bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini adalah predator. Aku sudah memaafkan masa laluku yang sangat jahat terhadap laki-laki ataupun mantan pacar yang tiba-tiba aku putusin dengan alasan mereka yang salah. Sebenarnya yang salah adalah aku sendiri yang selalu terbayang akan masa lalu, bukan mereka.

Sampai detik ini aku bercerita pada kalian, aku masih belum sembuh sepenuhnya. Aku masih dalam progres penyembuhan yang memang sudah berangsur terlalu lama. Tapi aku berpegang teguh bahwa hari yang aku tunggu akan datang. Hari dimana aku bisa benar-benar mencintai diriku 100% dan meninggalkan masa traumaku yang kelam dan bisa mengantisipasi jika terjadi kejadian yang sama. Sekarang, aku sudah bisa bilang bahwa tidak perlu menjadi jelek, agar tidak terkena pelecehan seksual lagi. Tapi, aku merubah mindset aku agar lebih kuat jika terjadi hal seperti ini. Aku ingin kalian yang pernah terkena pelecehan seksual, untuk berdiri dan kuat menghadapi ini semua. Aku berbagi cerita kepada kalian, agar Kleive sadar bahwa kalian tidak sendiri, dan masih banyak orang diluar sana yang membutuhkan dukungan penuh untuk menyembuhkan trauma. Saatnya semua speak up mengenai hal yang membuat kalian trauma atau terluka di masa lalu. Karena sexual assault awareness tidak banyak dilakukan di Indonesia.