Aku berteman dengan sekelompok sahabat, ada 8 dari kami dan telah berteman selama 11 tahun sejak SMA. Salah satu teman kami, sebut saja Mira, mengumumkan bahwa dia akan menikah. Tentunya, aku sangat bahagia untuknya. Permintaan bridesmaids pun sudah akan menjadi sesuatu yang natural, cause we have been through thick and thin, dan aku paling terkenal diantara teman-temanku menjadi party planner untuk membuat bridal shower seru dengan perencanaan games, decor, tema yang sangat menarik. Mira pun mengatakan bahwa kita semua akan menjadi bridesmaids begitu dia mengumumkan bahwa dia akan menikah. Aku menerima permintaannya dengan senang hati. Who isn’t happy when your best friend is getting married?

Sampai beberapa bulan menjelang pernikahannya, ada sesuatu yang janggal namun aku tidak terlalu memikirkannya. Di grup chat biasanya ramai dengan obrolan wedding vendor dan masukan mengenai pernikahan, tiba-tiba diam. Sunyi. Aku tidak terlalu khawatir, aku tahu merencanakan pernikahan memakan tenaga dan waktu. Lagian, persahabatan kami juga sudah masuk kategori persahabatan dewasa, we did not have to be together, all the time. Sampai akhirnya, salah satu dari temanku dari lingkaran pertemanan yang sama, mengajakku untuk bertemu, just the two of us for coffee. Later she broke the news, Mira tidak berencana menjadikan aku bridesmaids namun ia bingung cara menyampaikannya kepadaku. Saat aku bertanya mengapa, temanku mengerutkan kening, ragu untuk menjawab. Sampai ia akhirnya menarik nafas dan berkata, “Oh, sungguh bodoh alasannya. Aku pun marah! Teman-teman yang lain marah! Aku tidak ingin ikut ke pernikahannya sekalian! Malah kita semua ada rencana boycott!”

Aku berkata kepada temanku, “Hey, I can take it, I will understand.”

Ia dengan muka sangat menyesal, berkata kepadaku bahwa Mira tidak ingin menjadikan aku bridesmaids karena warna kulitku yang gelap. “Nanti tidak balance di foto. Tidak instagrammable,” Mira berkomentar. Aku melihat warna kulit lenganku, lalu melihat warna kulit temanku. Ya, memang, warna kulitku sawo matang, malah lebih gelap lagi karena pekerjaanku  sebagai diver instructor dan lebih sering bekerja di bawah terik matahari. Aku menikmatinya, karena aku dapat mengelilingi pulau-pulau Indonesia. Bahkan, aku bangga dengan warna kulitku. Berbeda dengan teman di depanku, atau Mira, mereka pekerja kantoran, jarang terkena matahari, dan memang secara gen DNA mereka, kulit mereka fair skin, putih. Aku tidak pernah memikirkan hal superficial seperti itu, yang aku tahu, mereka sahabatku.

“Ada satu lagi,” temanku berkata, “Walau Mira tidak jadi menjadikanmu bridesmaid, ia sangat berharap kamu datang untuk bridal showernya. Kamu kan party planner terbaik dari kita semua.”

Anything for the grams, eh?” aku akhirnya berkata. Sungguh aku kecewa, namun aku tahu aku cukup dewasa dan tidak akan menjadikan ini drama. Aku sudah 20-something, smart and a practical woman. Apa yang aku lakukan adalah, menolak permintaan untuk ke bridal shower-nya, berkata bahwa di hari itu, aku tidak akan di Jakarta, bahwa aku ada proyek besar di Papua selama bulan itu dan aku tidak dapat mendatangi pernikahannya karena pekerjaan — dan sebenarnya memang betul, aku tidak berbohong, namun aku dapat cuti. Tapi kembali lagi, mengapa aku harus cuti ke acara pernikahan yang tidak menginginkanku dengan alasan estetika Instagram? Hey, aku berjiwa besar, namun alasan Mira sungguh tidak masuk akal. Apakah social media telah menjadikan semua orang berupaya menjadi aesthetically pleasing? Who are they trying to please? Who are these strangers in Instagram that is going to judge my skin? I’m sure Kim Kardashian wouldn’t love Mira’s picture either once it is uploaded, if I were or weren’t there as a bridesmaid. Persahabatanku dengan Mira? Tidak sebaik dulu. Namun aku masih baik dengan 6 sahabatku yang lain. Setidaknya, dari mereka tidak ada yang suportif dengan keputusan Mira. Namun aku tidak ingin teman-temanku boycott pernikahan Mira, they will be bridesmaids afterall.

Aku menghindari drama, karena aku tahu kejadian ini bukan masalahku, tidak pernah tentang aku, Mira memiliki kesulitan dalam mencintai dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Dia berjuang melawan definisi mata publik yang ter-standardisasi mengenai beauty. Asia has been favouring white fair skin over dark skin for a long time, it’s on TV, billboard, and magazines. It’s embedded in us, Asians, because of colonization, how having a white skin depicts wealth and nobility – a white supremacist mindset. It’s never Mira’s fault, it’s our society. Tapi, hey, tahun 2018, ada gerakan sosial tentang embracing kulit kita, apapun masalah kulit dan apapun warna kulitnya. Mungkin Mira tidak begitu sadar akan social movement of skin acceptance. But I was already accepting my skin, because it’s gorgeous! – and that’s enough.

Aku menunjukan confidence-ku dengan tidak menjadikan ini drama. Malah ini menjadi test buat aku juga. Ternyata aku sudah dewasa dan menanggap Mira ini dengan santai. Pleasing others will drain my energy. Knowing to accept and loving myself is the biggest confidence. I am beautiful. I am capable to love myself, even if others can’t. Everyone has their own battle, dan ternyata battle untuk mencintai diriku sendiri apa adanya bukan salah satunya.

But here’s a lesson to my other Kleive out there. Love the skin you are in, even if others might not love it. Dan opini mereka tidak selalu benar. Selama kamu menerima kondisimu, mencintai dirimu, nothing else matters – your confidence naturally shows, your skin naturally becomes brighter and glowing, more beautiful than a typical white skin.

Jika kamu menjadi aku, menurutmu apa yang harus aku lakukan?