Toxic Positivity atau Kamu yang Baperan

Toxic Positivity sedang kerap disinggung belakangan ini di media sosial, Kleive. Terlepas dari definisi ilmiahnya yang sudah sering dijelaskan di internet, banyak dari masyarakat Indonesia kurang menyadari dampak dari Toxic-Positivity itu sendiri. Kamu pasti pernah bukan diejek “baperan” karena teman curhatmu tidak mendengarkan kamu? Alih-alih mendengarkan sebaliknya ia mengatakan hal-hal yang kurang menyenangkan seperti “baperan lo”, “biasa aja kali, gue pernah ngalamin lebih parah”. Kita paham Kleive!, apa yang sebenarnya kamu butuhkan adalah untuk didengarkan tanpa dihakimi dengan fakta lainnya. Melihat isu sosial ini, Tim Klei & Clay akhirnya memutuskan untuk mewawancarai salah satu Psikolog, Shabrina Fitriandari untuk mengulik isu ini lebih dalam. Check this out!

Klei & Clay: Apa itu toxic positivity? Mengapa bisa sampai menjadi toxic

Shabrina: Toxic Positivity ialah situasi di saat seorang receiver mencoba untuk  menceritakan suatu hal  yang membuatnya resah kepada salah seorang temannya (sender). Alih-alih mendengarkan dan menenangkan receiver  ini, ia malah memberi nasihat untuk tidak boleh merasa muram ataupun sedih. Mengapa menjadi toxic? Sebab, receiver tersebut yang seharusnya dapat mengeluarkan emosinya justru merasa bersalah terhadap apa yang ia keluhkan, dan emosi itu akhirnya menetap di dalam dirinya sehingga menjadi toxic.

Klei & Clay: Mengapa receiver menjadi menerima pesan tersebut sebagai toxic?

Shabrina: Receiver merasa apa yang ia rasakan salah, dan tidak ada yang bisa memahaminya. Ketika sudah seperti itu, ia merasa  tak pantas untuk hidup. “They felt like they are not  belongs to this world, karena dunia ini terlalu terasa begitu positive”

Klei & Clay    : Lalu bagaimana message positive (dari receiver dan sender itu sendiri)?

Shabrina: Tergantung apa yang dibutuhkan oleh receiver. Jangan membanding dengan diri kamu sendiri yang pernah merasakan hal yang lebih parah. Karena  kebanyakan orang melakukan toxic positivity itu tidak berempati. Setidaknya, mendengarkan sembari memberikan dukungan moril kepada receiver tanpa memberi perasaan empati.

AGAR KAMU SELALU BAHAGIA, Klei & Clay I’m Happy Aromatic Candle

Klei & Clay    : Mengapa menjadi trend toxic-positivity? Contoh yang paling sederhana dari toxic-positivity?

Shabrina :  Saya rasa “Toxic-Positivity meledak di media sosial karena sesuai pada zamannya”. “Seperti Galau, ini (toxic-positivity) baru booming baru-baru ini bukan?” Setiap tahunnya memang selalu ada julukan baru, padahal di ranah Psikologi ada hal tersebut sudah lumrah. Contoh yang paling sederhana berupa gif di instagram “good vibes only”  terdengar sederhana namun dapat menjadi racun bagi beberapa orang.

Klei & Clay :Bagaimana cara menjadi teman yang peduli namun tidak menjadi toxic? Bagaimana cara menyampaikan pesan positif namun tidak terkesan toxic?

Shabrina : Mengerti porsi yang diperlukan oleh receiver. Ia butuh didengar atau butuh sudut pandang dari kita juga? Lebih baik untuk tidak langsung memberikan nasihat  karena untuk saat seperti itu belum tentu hal tersebut yang dibutuhkan oleh receiver. Perankan diri Anda untuk menjadi teman tidak menyalahkan maupun mendukung apapun hal yang sedang mengganggu receiver tersebut.

Klei & Clay : Lebih baik Toxic-Positivity atau Tidak Peduli?

Shabrina : Tidak keduanya. Toxic-Positivity kadang terjadi karena sender tidak memberikan perasaan empati kepada receiver dan salah satu faktor sender menjadi toxic-positivity adalah karena sender sedang dalam keadaan yang tidak baik, Mungkin dia bad mood atau sedang ingin sendiri. Jadi lebih baik untuk kita sebagai sender maupun receiver saling mengerti dan berkomunikasi dengan baik.

Yuk! Kleive mulai mengerti porsi kamu disaat ada temanmu yang sedang menceritakan keluh-kesahnya. Bila kamu sedang tidak dalam keadaan yang baik, kamu bisa dengan baik-baik menolak atau meminta teman kamu untuk bercerita via voice note. Kamu bisa mendengarkannya kapan saja saat kamu sudah dalam keadaan yang baik, kamu bisa memberikan sudut pandang kamu atau simply memberikan rasa empati kepada mereka. Ingat Kleive yang terpenting adalah emos tersebut perlu dikeluarkan, emosi yang terpendam lama itu tidak sehat, Kleive!

 

Oleh: Tri Halimah Maulani